A. NILAI ESTETIKA PENDIDIKAN
Bahasa menunjukkan cerminan pribadi
seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari
perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun,
sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi.
Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat, memaki,
memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan
mencitrakan pribadi yang tak berbudi.
Bahasa memang memiliki peran sentral
dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu
kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga
pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah
pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di
sekolah. Dalam KTSP, bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran
estetika. Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok agama
dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau
moral.
Kelompok mata pelajaran estetika
sendiri bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan
dan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan
ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan
mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu
menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Tujuan rumpun estetika tersebut
dijabarkan dalam pembelajaran yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki
kemampuan antara lain
·
Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan
etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis
·
Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut
dilakukan dalam aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
B. NILAI-NILAI MORAL PENDIDIKAN
Konflik batin dialami sejumlah siswa
SMA beberapa menit setelah mendengarkan pelajaran tentang nilai-nilai moral.
Dalam ruang kelas, guru memperkenalkan dan mengajarkan nilai saling menghargai,
menghormati sesama, menghindari tindak kekerasan, hidup jujur, dan berlaku
adil.
Di luar kelas, mereka menyaksikan
peristiwa perendahan martabat manusia, tawuran antarrekan pelajar, pemuda
mengejek pemudi yang sedang lewat, tindak kekerasan oleh preman, oknum
penguasa, korupsi di depan umum (bdk. Seminar Perguruan MTB "Kecerdasan
Emosional dan Penanaman Nilai-nilai Moral dalam Konteks Pembelajaran
Siswa"di Pontianak, 17-18/10/ 2003).
Kontradiksi dan disintegrasi antara
pendidikan nilai moral di ruang sekolah (kadang nilai ini tidak pernah
ditanamkan!) dan keadaan dalam masyarakat muncul karena beberapa alasan.
Pertama, penanaman
nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa seperangkat
teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat. Kurang digali akar
terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral
dalam masyarakat.
Kedua, sebagai
lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan
mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki
jaringan kerja sama yang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga
pemerintah, nonpemerintah, dan seluruh masyarakat.
Ketiga, adanya
kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan melecehkan
pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok sosial
yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang
digariskan.
Nilai-nilai moral yang perlu
disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini umumnya mencakup:
Pertama,
kebebasan dan otoritas:
kebebasan memiliki makna majemuk
dalam proses pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selama hayat dikandung
badan, tak seorang pun memiliki kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk
hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam
kebersamaan. Kebebasan manusia pada hakikatnya bukan kebebasan liar, tetapi
kebebasan terkontrol. Kebebasan tanpa tanggung jawab mengundang pemegang roda
pemerintahan dalam republik ini untuk menyelewengkan kuasa mereka demi
kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang seharusnya diterapkan adalah
kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat banyak;
Kedua,
kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara
ini.
Kedisiplinan rendah! Sampah
bertebaran, para pemegang kuasa menunjukkan posisi mereka dengan menggunakan
"jam karet", aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh ditaati,
tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan mengintai
pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak
oknum disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam
penegakan hukum positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang
di beberapa tempat.
Ketiga,
nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses
sosialisasi nilai moral dalam negara kita.
Hati nurani perlu mendapat pembinaan
terus-menerus supaya tak sesat, buta, dan bahkan mati. Para pemegang roda
pemerintahan negara kita, para pendidik, peserta didik, dan seluruh anasir
masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik dan bukan hati
nurani "liar" dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah
cermin hati nurani anak-anak bangsa. Penggelapan dan permainan uang oleh
pegawai-pegawai pajak, "pembobolan" uang di bank menunjukkan nurani
manusia yang kian korup (bdk. John S Brubacher, Modern Philosophies of
Education, New York: McGraw-Hill Book Company, 1978).
Ternyata bukan tanpa halangan untuk
menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah kurikulum pendidikan formal
yang terasa "mencekik". Bagaimanakah seorang pendidik bisa menanamkan
nilai moral dalam sebuah kurikulum demikian? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, terbuka peluang bagi pendidik
untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di bidang pelajaran yang
dipegang selama ini. Kedua, pendidik
bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat. Ketiga, kejelian/kreativitas pendidik
menggali identitas nilai moral.
Jelas, penanaman nilai-nilai moral
dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat otonom, tetapi selalu
terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan
keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak,
imigrasi, polisi, tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung,
kabinet, dan presiden seharusnya memiliki dan menghidupi perilaku yang
benar-benar mendukung proses penanaman, penerapan, dan sosialisasi nilai-nilai
moral yang digalakkan para pendidik. Pemerintah dan masyarakat diharapkan
menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti menghidupi)
pendidikan nilai-nilai moral.
C.
Nilai Sosial Pendidikan
Beranjak dari berbagai pemahaman
mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan
pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan
proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok
ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar.
Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia
cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.
Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi
perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu,
seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi
perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun
dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut
belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan
kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang
diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau
siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam
mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau
kurikulumnya yang salah?
Objektifikasi peserta ajar. Hal ini
dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari
subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan
dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah
pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas
contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar
seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton
pengajarnya bermonolog.
Ketidakmampuan pengajar dalam
mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar
pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk
mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal
itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain
itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh
pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan,
sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan
kepada peserta ajar.
Sistem pengajaran. Sebagaimana telah
dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini
hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai
pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum)
untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik
kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan,
kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan
didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta
ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu
masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun
perguruan-perguruan tinggi negeri.
Kurikulumnya yang salah? Lancang
memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan
lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini
adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri
Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan
Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan
langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal
terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan
nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat,
bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem
pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan
mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan
transfer pengetahuan hingga saat ini.
D. Pergeseran Nilai Pendidikan
“Tidak semua yang dapat menghitung
dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat
menghitung.”(Einstein)
Apa sebenarnya tujuan utama siswa
sekolah menempuh ujian? mendapat kelulusan? pasti. Mendapatkan nilai yang
tinggi? Tentu.Di belahan dunia manapun ketika seorang siswa menempuh ujian, 2
hal diataslah yang mereka cari.
Tetapi adakah relevansi antara nilai
dengan mutu pendidikan?Secara rasio jelas ada. Ketika seorang siswa mampu
mendapatkan nilai bagus dalam ujian, dirinya akan dianggap
berhasil.Setuju.Tetapi ketika seorang siswa tidak mampu mendapatkan nilai
yang bagus dan kemudian serta merta di sebut gagal, tentu hal ini tidak bisa
diterima begitu saja.
Ketika pendidikan hanya sebatas
ukuran numerik, maka pendidikan sudah tidak ada arti lagi. Ilmu menjadi barang
mati yang tiada guna. Karena sudah menjadi barang mati maka yang ada adalah
kecurangan dan kecurangan.Siswa seperti diajak berjuang untuk mendapatkan
sebuah benda yang tidak ada artinya, hingga dihalalkan segala cara untuk
meraihnya dan setelah diraih dibuang begitu.
Pendidikan adalah jiwa, pendidikan
adalah norma, pendidikan adalah batu asah yang mengkilapkan mutiara bakat yang
bersembunyi di dalam diri siswa. Ilmu itu yang akan mengeksistensikan dirinya
sebagai anggota keluarga, warga masyarakat, warga bangsa dan dunia. Bukan
sekedar deretan angka-angka mati yang tercatat dalam sertifikat kelulusan. Jauh
lebih dari sekedar itu. Tubuh boleh hancur oleh kematian tetapi ilmu tidak.
Ilmu tidak akan mati selama ilmu itu masih terpakai di dunia.
Seorang Thomas Alva Edison bukanlah
seorang yang bernilai tinggi di sekolahnya.Pada masa kecilnya di Amerika
Serikat, Edison selalu mendapat nilai buruk. Oleh karena itu ibunya
memberhentikannya dari sekolah dan mengajar sendiri di rumah. Atau Albert
einstein, dia tergolong sebagai siswa yang lambat di sekolahnya. Tetapi lihat,
apa yang sudah mereka hasilkan? mereka ‘gagal’ di sekolah dan menjadi orang
yang sangat berjasa di dunia. Sampai sekarang penemuannya terus dipakai orang.
Pergeseran nilai. Saya sebut gejala
seperti ini dengan pergeseran nilai. Pergeseran nilai pendidikan dari ilmu
menjadi sekedar teori dan angka. Yang para siswa kejar sekarang ini adalah
angka, bukan ilmu.
Gejala pergeseran nilai seperti ini
bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti
Jepang, Eropa atau Amerika yang notabene sudah berpengalaman mencetak
ilmuwan-ilmuwan bertaraf dunia. Pergeseran nilai ini mengakibatkan guncangan
yang dahsyat dalam dunia pendidikan. Materialisme adalah contoh nyata dari
dampak adanya goncangan ini yang selanjutnya disusul dengan perubahan mental
anak didik, semula ia berangkat dari rumah untuk mengejar ilmu berubah niat
menjadi pengejar nilai. Yang berbahaya lagi hal seperti ini tidak disadarinya,
bahkan oleh orang tuanya sekalipun, mungkin karena tren jaman sudah seperti itu
keadaannya. Kasus-kasus depresif pembantaian pelajar di sekolah yang dilakukan
oleh seorang siswa yang biasanya kemudian disusul bunuh diri si pelaku atau
kasus bunuh diri pelajar-pelajar Jepang yang kian mengkhawatirkan adalah juga
dampak dari goncangan karena pergeseran nilai yang sedang terjadi.
Bukannya mau menafikan peranan
pendidikan sebagai unsur pencetak ilmu pengetahuan, namun ketika
pergeseran-pergeseran nilai seperti ini terjadi kita wajib merasa khawatir akan
dunia pendidikan kedepan. Melihat pada sisi lain dari sekolah sebagai sarana
pendidikan adalah hal yang sudah saatnya harus kita lakukan sekarang saya rasa.
Jangan sampai pendidikan justru menjadi tempat awal tumbuhnya nilai-nilai
asusila dan kecurangan dalam diri anak. Kebesaran hati dan penanaman kepahaman
yang mendalam dan kontinyu tentang ilmu kepada anak adalah suatu tindakan yang
mestinya harus dilakukan orang tua terhadap anak saat ini. Jangan sampai ilmu
kehilangan esensi hakikat dalam diri anak didik. Pengajar, pemerintah dan orang
tua mempunyai tanggung jawab yang besar akan ini.
Casinos Near Casinos and Gaming in Las Vegas, NV
BalasHapuswith 광양 출장안마 casinos 계룡 출장샵 and gaming near casinos and gaming near casinos and gaming near casinos and 천안 출장안마 gaming near casinos and 강릉 출장마사지 gaming near casinos 영주 출장마사지 and